SASTRA CIKA
“Soren_kodong@yahoo.com”
Dalam perkembangannya, sejarah sastra Indonesia mengalami banyak pertentangan atau banyaknya pendefenisian tentang pengertian sastra,mungkin pemikiran ini di pengaruhi oleh akibat dari revolusi industry atau yang kita kenal dengan masa raines suns atau zaman pencerahan yang begitu banyak melahirkan pemikiran. Pemahaman mengenai sastra dan apa tujuan ber-sastra bagaimana dampaknya dalam lingkungan sekitar kita, sejarah sastra bukanlah sebuah coretan-coretan atau kejadian yang bersifat historis yang diceritakan atau ditulis sedemikian rupa, melainkan sebuah proses media propaganda yang bersifat politis dan yang siap mempolitisasi para pembacanya.
Banyak orang berfikir bahwa sastra itu berasal dari kejadian-kejadian yang bersifat realistis, hal tersebut tidak dapat dinafikkan atau dihindarkan, karena peran sastra dalam hidup kita sangatlah penting yang dituangkan kedalam kertas-kertas berwarna putih, baik puisi,prosa,dll. Ide –ide yang muncul melalui sebuah kejadian social yang kemudian orang-orang tertentu mulai mengemasnya kedalam sebuah ilustrasi semata yang tidak memberikan apa-apa kepada pembaca, melainkan hanya menambah beban pemikiran orang-orang yang meembacanya, contohnya bisa kita lihat dalam karya Andrea Hirata dengan judul novel lascar pelangi yang di mana isinya mengungkap persoalan-persoalan yang dialami oleh masyarakat Indonesia, dalam novel tersebut banyak mengangkat latar tentang pendidikan, dan juga mengambarkan bagaimana pendidikan Indonesia hari ini, dalam potongannya “seorang guruh yang mengeluh akibat sekolahnya yang hanya terbuat dari didinding kayu yang sudah hampir roboh akaibat di makan oleh rayap karena usia kayu yang sudah relative tua tidak menjadi halangan buat dirinya untuk mendidik anak didiknya yang hanya berjumlah Sembilan orang saja.bangunana yang hanya ditopang oleh enam tiang dan berdinding papan menjadi bukti bahwa masih banyak sekolah di Indonesia yang kondisinya mirip dengan kejjadian sesungguhnya atau sesuai dengan realistis. Namun kenjanggalan yang terdapat dalam kesusastraan yang ditulis oleh Andrea Hirada yang sesuai angkatannya, yakni angkatan 2000-an tidak jauh beda dengan nostalgia semata, dan yang paling buruk lagi untuk periode ini kebanyakan hanya berdebat ditataran ide semata. Jadi saya tidak salah ketika kita mengatakan bahwa pengetahuan mengenai sastra hari ini hanya untuk membodohi semata yang seperti dilakukan oleh angkatan 70an s/d 90-an.
Pada angkatan 2000-an yang banyak berkembang hanyalah sebuah pemikiran yang tidak ada gunanya untuk perkembangan sastra sebagai media yang sebenarnya yang seperti dikemukakan oleh Pramoedya Anantatour, atau penulis-penulis yang radikal dan berjiwa revolusioner, yang banyak menuangkan konsep-konsep kenegaraannya dalam karyanya namun kesusastran periode 2000-an tak jauh beda dari orientasinya yakni sebuah kepentingan yang komersil semata, dimana kepentingan-kepentingan tersebut, kebanyakan dari penulis sastra memperebutkan tempat di hati pembacanya sehingga banyak diminati oleh masyarakat dan menghasilkan keuntungan yang besar, perkembangan sastra pada era 2000-an itu banyak di pengaruhi oleh ekonomi global atau kebijakan pasar bebas yang di terapkan oleh kapitalisme global. Kencendrungan sekarang ini menjadi akibat dari larinaya sebuah pengertian sastra dalam benak kita akibat penulis yang konsumtif yang hanya mengumpulkan dan menuliskan kejadian-kejadian sosial kedalam sebuah karyanya yang dituliskan dengan kemasan hayalan tanpa arti.mungkin ini adalh dampak dari kebebasan menulis juga jadi para penulis hany mementingkan idenya untuk di baca dan bisa mendapat tempat dihati pembacanya yang suatu waktu yang sempat di tidurkannya tadi.
Sekarang ini kita juga memandang sebuah gerak maju kesusastraan tanah air yang bergerak keera posmoderennya, dimana kritikan-kritikan bermunculan yang tidak memberikan kejelasan dalam setiap kritikannya, era modern sekarang ini orang banyak berdebat yang tidak membawakan hasil atau menjadikan orang hanya sebagai seekor babi yang gemuk dalam kandangnya, ketika lapar babi itu cukup berteriak lantas pemilikknya datang untukk memberinya makan.
Itulah sebuah pengantar kecil dari hasil pemikiran penulis dalam memandang karya sastra untuk periode 2000-an. Dalam perkembangannya sejarah sastra Indonesia mengalami banyak perkembangan mulai dari angkatan 20-s/d-2000-an, perkembangan ini mulai muncul karena akibat kepentingan yang berlaku pada masanya, namu yang perlu kita pahami apakah periodesasi yang belum sempat kita jelaskan sama dengan angkatan-angkatan yang sempat dijelaskan oleh para pembagi atau tukang pengelompokan sastra yang sesuai dengan masanya mmenurut mereka?, Itulah permasalahan yang perlu kita pecahkan untuk saat ini.
Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri.
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera seperti “Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan daerah Sumatera lainnya”, orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.
Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.
Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai “Raja Angkatan Balai Pustaka” oleh sebab banyak karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah “novel Sumatera”, dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya.
Boleh dikata, kesusastraan Indonesia dimulai dengan protes. Tema novel-novel yang menonjol yang ditulis pada tahun 20-an kebanyakan memperlihatkan kepada pembaca kesulitan berlakunya adat, pola-pola hidup tradisional. Ketika Marah Rusli menulis Sitti Nurbaja (terbit 1922), konon, demikianlah ditafsirkan, ambisinya yang terutama bukanlah ingin menjadi novelis; ia hanya tak dapat menemukan jalan lain untuk memprotes tradisionalisme “yang tidak sehat” pada zamannya.
Sekalipun begitu, enam tahun kemudian, sebuah karya penting lain, Salah Asuhan, yang ditulis oleh Abdul Muis, mengingatkan bahwa pemberontakan sedemikian barangkali tak akan membawa apa-apa kecuali malapetaka. Pendidikan dan adat kebiasaan Barat dari si tokoh, penolakannya untuk menerima kerangka hidup kebudayaan bumiputra, merusak keharmonisan kehidupan keluarga. Hanafi, tokoh tersebut, meninggal dengan penyesalan yang tipikal.
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
- Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
- Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan ‘45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik - idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan ‘45 memiliki konsep seni yang diberi judul “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan ‘45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Kurang dari tujuh tahun setelah Chairil Anwar mati muda dengan penyakit yang hinggap dari jalanan, pemberontakannya berangsur-angsur dipertanyakan. Pengarang-pengarang lain muncul, dan tahun 50-an praktis menjadi zaman post-Chairil. Juru bicara kelompok pengarang yang menyatakan mewakili zaman ini adalah Ajip Rosidi (lahir di tahun 1938), yang kumpulan sajaknya yang pertama, Ketemu di Djalan (diterbitkan dengan karya dua penyair lainnya) terbit tahun 1956.
Dalam pidato yang disampaikannya di sebuah simposium sastra mahasiswa di Jakarta tahun 1960, ia memaklumkan lahirnya “Angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia”, yang mengecam Chairil Anwar dan teman-teman semasanya.
“Secara rohaniah,” tulis Ajip, “tanah air mereka adalah Belanda dan Eropa.” Sedang generasinya sendiri, kata Ajip, merupakan hasil “pertumbuhan yang, wajar dan berakar di bumi tanah air.”
Tentunya di sini terdapat sedikit hal yang agak dilebih-lebihkan, untuk mendapatkan kontras. Tetapi yang paling penting adalah semangat di belakang pernyataan ini. Setelah zaman bergelora dan kontroversial yang pendek yang diberi ciri oleh Chairil Anwar, bandul kelihatan berayun kembali sekali lagi ke arah lain. Ketimbang meretakkan keharmonisan antara mereka sendiri dengan kehidupan bersama di sekeliling mereka, dan merasa perlu meraba kembali akar untuk tak tercerabut, pengarang tahun 50-an cenderung menulis karya-karyanya di atas “bumi sendiri.”
Demikianlah ketenangan meraja, dan ide pemberontakan merupakan sesuatu yang tak galib. Zaman itu penyair-penyair muda Indonesia menulis pastoral yang hangat, keindahan legenda dan permainan anak-anak, serta balada romantis yang diterbitkan oleh berkala seperti Kisah, Seni (keduanya di Jakarta) dan Budaja (di Yogya). Sebuah buku puisi yang tipikal buat tahun 50-an antara lain adalah Priangan si Djelita, sebuah nyanyian cinta dan pemujaan kepada tanah tumpah darah sang penyair. Pengarang dari karya yang penuh getar muda ini adalah Ramadhan K.H., penerjemah puisi dan lakon Federico Garcia Lorca.
Lainnya adalah Balada Orang-orang Tertjinta oleh W.S. Rendra. Warna-warninya dalam banyak hal memberi kesan diangkat dari alam sekitar di daerah, dan tokoh-tokoh yang mirip legenda. Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.
Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
Tapi itulah semangat yang merangsang tahun-tahun pertama 60-an. Sesungguhnya, ideologi negara, yang dikodifikasikan dari pidato-pidato Soekarno itu, mempunyai daya tarik sejati bagi orang banyak. Tentu saja ideologi itu sendiri tidak lengkap; bahkan mungkin di beberapa bagian tidak jelas benar. Meskipun demikian, seperti dikatakan dengan kena oleh Herbert Feith tentang periode ini, tanggapan umum terhadap ideologi tersebut pada masa itu ialah, bahwa “ini mungkin bukan suatu ideologi yang sangat baik dan lengkap, tetapi suatu ideologi merupakan hal yang kita butuhkan.”
Tidaklah mengherankan, bahwa ideologi yang begitu terdengar revolosioner, tetapi sekaligus tak lengkap, rela —atau terpaksa—membuka kesempatan untuk mendapatkan dukungan dari komunisme, khususnya bila ideologi itu harus berbicara mengenai kebudayaan. Di antara kekuatan politik yang ada, hanya orang-orang komunislah dewasa ini yang menaruh perhatian yang serius pada masalah-masalah kebudayaan seperti ditunjukkan oleh George Steiner: Marxisme-Leninisme dan rezim politik yang memainkan peranan atas nama ideologi tersebut menanggapi perkara kesusastraan (dan karya-karya seni lainnya) secara serius, bahkan secara berlebihan serius. Mereka mempunyai tradisi kesusastraan dan kritik tersendiri, sebagai bagian dari sejarah revolusi mereka. Dan sebagian untuk memenuhi kebutuhan terhimpunnya “front persatuan nasional”, dan sebagian lagi untuk memperoleh bantuan dari kaum cendekiawan, Partai Komunis Indonesia mendirikan organisasi kebudayaan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan sebuah badan penerbitan yang aktif.
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.
Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail dan banyak lagi yang lainnya.
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat.
Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang dikomandani Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka Rusmini.
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang “Sastrawan Angkatan Reformasi”. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Perlu disebutkan pula di sini Romansa Perdjalanan oleh Kirdjomuljo. Kumpulan sajak ini, meskipun kurang berhasil ditinjau dari segi sastra, masih termasuk salah satu contoh kesusastraan Indonesia tahun 50-an. Setidak-tidaknya, suatu pencerminan dari perasaan yang terdapat di mana-mana pada zaman itu.
Corak umum dari karya-karya ini sangat berbeda dengan karya-karya kelompok avant-garde tahun 40-an: ungkapannya lebih manis, temanya kurang bersifat polemis, dan tentunya lebih diperindah dengan corak atau warna lokal. Individualitas nampak dalam siluet. Dengan mudah dapat diraba, suatu keinginan yang tersirat untuk mendapatkan kembali surga—sejenis kerinduan untuk balik kembali ke rahim Ibu Bumi, sang Pertiwi.
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita di sini menemui suatu gerakan kesusastraan yang secara sadar sepenuhnya berorientasi kepada sifat kebangsaan. Apa yang sedang saya coba tunjukkan adalah salah satu gejala yang paling berarti dari tahun 50-an: masalah keseorangan nampaknya semakin kurang relevan dalam pembicaraan kesusastraan: kualitas kenasionalan merupakan hal pertama yang penting dibicarakan. Jelas, ada secercah sikap nasionalistis di sini, terkadang dengan sentuhan perasaan kedaerahan.
Dan itu wajar saja. Pernyataan kelahiran yang dikemukakan Ajip Rosidi di atas, hanyalah satu contoh dari ciri suatu semangat zaman yang tersembunyi, yang nampak juga dalam kegiatan-kegiatan lain, misalnya dalam hal pencarian suatu identitas nasional yang lebih terumuskan. Kemerdekaan saja nampaknya tidak cukup, tidak sekadar pengertian bebas dari penjajahan pra-1945. Semangat ini, sebagai nampak dalam perkembangan selanjutnya, mencapai kepesatannya pada tahun-tahun “pemerintahan revolusioner” Presiden Soekarno: 1958-1966.
Zaman Soekarno bukanlah zaman kesusastraan yang didikte, setidak-tidaknya pada permulaan periode itu. Ada pendapat yang dalam membicarakan masa pemerintahan “demokrasi terpimpin” itu seringkali mengesankannya sebagai pemerintahan yang bertipe totaliter lengkap, suatu impian buruk novel George Orwell, 1984. Memang, kebebasan berbeda pendapat semakin terbatas, setidaknya jauh berkurang dari beberapa belas tahun setelah proklamasi kemerdekaan.
Tetapi sampai derajat tertentu perbedaan pendapat toh tetap ada—meskipun ini lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa perbedaan pendapat itu tidak dapat dihindarkan, ketimbang oleh suatu filsafat kekuasaan yang sengaja membiarkan perbedaan itu. Dalam situasi seperti itu yang tak cukup kita miliki ialah suatu sistem modern untuk mengelola konflik-konflik pendapat tadi.
Dalam hal seperti itulah, zaman Soekarno bisa menimbulkan sebuah kenangan yang gamblang tentang sejenis pemerintahan gaya kerajaan lama, bersifat otoriter tetapi tidak rnengembangkan alat pengawasan politik yang efisien dan tuntas. Jika ditilik kembali, masa itu dapat nampak sebagai semacam kelahiran baru dari beberapa nilai sosial tradisional, dengan aksen Jawa. Kata-kata besar pada zaman itu, seperti “Kembali kepada kepribadian Indonesia” dan “Kebudayaan nasional” menggambarkan perasaan utama periode tersebut.
Sekalipun demikian, tak ada blueprint yang jelas tentang bagaimana kebudayaan nasional Indonesia akan dibangun, sesuatu yang umumnya harus diharapkan dari suatu ideologi negara yang revolusioner. Hal ini telah mengakibatkan timbulnya perdebatan yang riuh di antara beberapa kelompok, yang akan saya bahas nanti.
Soekarno sendiri bukanlah seorang pemikir yang sistematis, dan ternyata tidak mempunyai ide yang jelas mengenai apa yang harus dilakukan sepanjang menyangkut masalah-masalah kebudayaan. Tetapi setidak-tidaknya ia telah berhasil mengobarkan suatu perasaan dan menanamkan suatu kebiasaan—perasaan persatuan dan kebiasaan untuk mengalihkan segala sesuatu kepada ideologi.
Mulai saat itu, terjadi pemudaran individualitas, setidaknya sebagai issue, dalam ekspresi seni dan sastra. Cuaca kehidupan politik mencegah para sastrawan untuk berbicara mengenai perasaan dan masalah-masalah diri yang intim: untuk hal-hal semacam itu kita melakukan penyensoran terhadap diri sendiri.
Maka periode itu pun merupakan periode yang penuh dengan percakapan hal-hal besar dan kata-kata abstrak dalam sajak. Tema-tema yang berkenaan dengan masalah cinta, seks, kesepian dan absurditas kematian kurang dianggap patut.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra — puisi, cerpen, dan novel — pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar