Minggu, 12 Juni 2011

BANJIR


            Malam yang begitu hening, hanya lalat dan nyamuk yang menemaniku, musim hujan telah tiba, diam dan mengkhayal di sela-sela kebisuan dan kesenyapan malam. Aku berdiam diri di antara dua buah tiang yang mengapit kamar itdurku itu, tak henti-hentinya tangan ini berayun hanya untuk menghalau si penghisap darah yang hinggap di kulit tubuhku. Tepukan demi tepukan berbunyi, namun mereka tidak menghiraukan kekerasan yang aku lancarkan dalam setiap serangan tanganku kepadanya, “ Ah dasar nyamuk sialan,” kerjanya hanya mengangguku dan memanfaatkan aku yang sedang lemah dalam keterbaringanku, aku mulai merangkak dari kursiku untuk mencari anti nyamuk bakar, lantai rumahku terlalu basah untuk aku lalui akibat genangan air yang masuk dan menghuni rumahku. Dalam hati aku bertanya, “ seandainya parit itu tidak dibuat air tidak masuk ke dalam rumahku” ayunan kakiku terus melangkah melawan arus air yang semakin deras menghujam ruangan rumahku. “ Seperti air di sungai saja,” ucapku dengan pelan.
            Dalam pencarianku, apa yang kucari tak kunjung aku temukan, anti nyammuk yang aku andalkan dalam mengusir para penghisap darah telah lenyap terbawa oleh arus air, yang kutemukan hanyalah pembungkusnya, aku sangat kecewa akibat banjir yang masuk ke dalam rumahku ini.
            Rasa putus asa mendatangi pikiranku, kupaksakan diriku mengitari genangan air yang bercampur dengan lumpur itu dam masuk ke dalam kamarku, air yang tingginya sampai lutut ternyata belum merendam kasurku. Aku terdiam sejenak dan berkhayal, “air pasti akan tambah tinggi, kalau aku tidur bisa basah aku nantinya” namun mata ini terus memaksa untuk dirapatkan, kebuang semua kemungkinan-kemungkinan dalam pikiranku aku juga membutuhkan istirahat di malam hari, nyamuk tak kuhiraukan lagi akibat rasa lelah yang aku derita dalam memindahkan barang-barangku yang akan di hujani oleh air dari tadi siang itu.
            Pukul dua dini hari aku kembali terbangun karena dingin dan gangguan nyamuk, aku mulai membuka mata dan bergegas lompat ke lantai mencari pelindung dingin, aku tak sadar bahwa keadaan rumahku sekarang telah digenangi air tempat bermainnya ikan-ikan dan jentik-jentik nyamuk, bergegas kaki ini melompat ke atas kasur karenadingin. Aku baru sadar setelah kakiku terjerumus ke dalam air, celanaku basah akibat kecerobohanku.
            “ Sial semua ini karena parit besar itu,” ucapku dengan rasa kesal. Parit yang membelah rumahku dengan jalan raya yang dibangun oleh pemerintah untuk mengantisipasi banjir ternyata memunculkan masalah di rumahku. Kutarik sebuah sarung dari dalam lemari yang tidak dijangkau oleh air. Aku mulai terbaring kembali untuk meilhat matahari pagi esok hari. Pagi-pagi aku memutar badanku untuk mencari posisi yang nyaman untun tidur, tak lama berselang perutku mulai berbunyi rasa lapar kini kembali membayang-bayangi tidurku, akibat dari suhu yang begitu dingin ditambah lagi hujan yang tak pernah reda dalam menyiram atap rumahku, namun rasa ngantuk terus mengawasi diriku, “ besok saja aku makan,” tanyaku dalam hati utnuk menenangkan diriku ini. Kurasakan diriku tidur, aku mulai meyakinkan diriku untuk mengantisipasi perutku yang mengamuk meminta makanan. “ Komporku rusak akibat genangan air,” pikirku meraba-raba bantal guling yang hilang dari pelukanku. “ Besok saja aku puaskan diriku makan, sekarang tidak ada apa-apa yang bisa aku perbuat dan tak berdaya,” mataku pun mulai sandar tak sadarkan diri.
            Matahari mulai berada di atas atap rumahku, tak seperti biasanya aku didahului oleh matahari dalam meilhat bumi, nmaun kini kejadian itu terjadi. Kubuka kain penutup jendela kamarku yang penuh dengan debu, aku mulai meraba kunci jendela dengan kondisi setengah sadar. Kaca jendelaku yang terbuat dari plastic mulai kendor akibat terpaan angin kencang, sambil kubersihkan mataku dengan jari telunjuk kiriku, aku telah menarik kunci jendelanya, segera aku membuka jendela dan memandang langit yang masih sedikit gerimis bercampur dengan sinar matahari,” wah, hujan belum berhenti, namun matahari tetap muncul, langit tidak gelap seperti biasanya ketika hujan akan turun,” tanyaku pada diriku sendiri yang terheran-heran melihat kejadian itu. Mulutku terasa pahit sekali, badanku masih terasa sangat lemah, aku memberanikan diri untuk melangkah dari dalam tempat tidurku. Genangan air masih bertahan dalam rumahku meski tak seprah malam tadi, aku melihat sekeliling rumah yang tertinggal hanyalah bekas-bekas lumpur yang menempel di dinding rumah dengan sedikit genangan air yang menyentuh mata kakiku saat aku bangun tadi. Secepatnya aku ke sumur belakang rumahku untuk mencuci muka, “ wah ada apa ini kenpa tikusnya banyak?” tanyaku seolah-olah aku bercerita ditemani dengan seseorang.
            Alis mataku hampir bertemu ketika melihat kejadian itu. Pikiranku mulai menberontak, mataku mulai memata-matai untuk mencari kayu, demi mengusir kerumunan yang tampak kedinginan akibat hujan yang tak pernah berhenti ditambah lagi rendaman air yang membasahi rumah mereka, tambah komplitlah penderitaan sang tikus akibat ulahku mengusir mereka dengan sapu, larinya terbirit-birit seperti pencuri yang tertangkap basah olehku,” mau kemana kalian,” sst….ssst….ssst…,” teriakku sambil mengejar para preman bermulut mancung itu, sesekali aku berteriak kegirangan melihat tikus-tikus itu lari terbirit-birit.
            Tak lama berselang orang dekat rumahku meulai keluar satu persatu, aku mulai memperhatikan kejadian yang terjadi, setiap orang telah membawa peralatan, seperti linggis, cangkul, skop dan berbagai macam perlengkapan akat-alat untuk membersihkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar