Jumat, 10 Juni 2011

BERNYASTRA DALAM SOSIOLOGI

Di samping pengertian sosiologi, pengertian sastra tentu saja juga harus diperjelas sebelum pengertian sosiologi sastra itu sendiri dipahami.
Ada beberapa hambatan dalam perumusan pengertian sastra, yakni mereka yang terlibat dalam persoalan sosiologi sastra dan karya sastra bergerak dengan dinamika yang cepat yang ketidaknya terkesan terus-menerus.
1. Karya sastra dalam dunia sosial
Dari sejumlah pengertian mengenai karya sastra di atas benar-benar mengiring karya sastra sendiri ke arah sebuah wilayah yang terpisah dari kenyataan sosial yang menjadi objek sosiologi. Sebagaimana yang dimaksud oleh Ricoeur (1981) sebagai tulisan, karya tidak terelakkan dari situsi dan kondisi nyata produksinya, tidak diarahkan pada orang atau kelompok orang tententu yang ada dalam situasi dan kondisi produksinya, dan tidak pula mengacu pada kenyataan atau objek-objek yang ada di sekitar waktu produksi karya sastra tersebut.
Sebagai bahasa karya sastra sebenarnya dapat dibawa dalam keterkaitan dengan dunia sosial tertentu yang nyata, yaitu lingkungan sosial tempat dan waktu bahasa yang digunakan oleh karya sastra itu hidup dan berlaku, karya sastra yang menggunakan bahasa itu berbagai tata simbolik yang sama dengan masyarakat pemilik dan pengguna bahasa itu. Apabila sebagai tata simbolik bahasa dimengerti sebagai alat perekam dan reproduksi pengalaman para pemakai dan penggunanya, karya sastra, dapat ditempatkan sebagai aktifitas simbolik yang terbagi pula secara sosial. Akan tetapi, sebagaimana sudah dinyatakan, karya sastra cenderung dipahami sebagai sebuah bahasa yang beda atau dari bahasa yang umum.
Kecenderungan yang demikian menjadi semakin kuat ketika karya sastra dipahami sebagai sebuah karya yang fiktif dan imajinatif dan sekaligus sebagai ekspresi subjektif individu. Di dalam karya sastra ditemukan mengenai gambaran manusia-manusia, relasi-relasi sosial, ruang dan waktu yang serupa yang ada dalam kenyataan, semua hal itu tidak dapat mendekatkan karya sastra pada kenyataan sosial. Gambaran mengenai manusia-manusia itu atau relasi-relasi sosial yang terpaut akan ruang dan waktu itu lebih dipahami sebagai hasil rekaan belaka dari pengarang karya sastra sebagai individu, melainkan kenyataan batinia subjektif dari sastrawan.
Namun, seperti yang sudah pula disinggung secara selintas, waktu yang hampir bersamaan dengan usaha-usaha pembangunan kemungkinan pengertian di atas hadir pula berbagai usaha yang membangun pertalian antara karya sastra dengan dunia sosial.
Swingewood (1972) melacak usaha-usaha yang demikian jauh ke belakang hingga terutama ke teori mimesis Plato, menurut Plato, dunia dalam karya sastra merupakan tiruan terhadap dunia ide. Dengan demikian, apabila dunia dalam karya sastra membentuk diri sebagai duia sosial.Dunia tersebut merupakan tiruan dunia sosial yang ada dalam kenyataaan yang dipelajari dalam sosiologi

2. Dari Tulisan ke Dunia Sosial
Ricoeur (1981) mengemukakan bahwa sebagai tulisan karya sastra memang mengambil jarak dari situasi dan kondisi nyata yang menjadi lingkungan produksinya. Sebagai tulisan, karya sastra tidak lagi mengacu pada pengarang dan pembaca serta situasi dan kondisi asal karya sastra tersebut.
Namun, kata Ricoeur, kenyataan tersebut tidak dengan sendirinya berarti bahwa karya sastra tidak mempunyai acuan ke dalam kenyataan. Hanya saja, acuan karya sastra itu tidak lagi terarah pada dunia sosial yang nyata. Melainkan dunia sosial yang mungkin dengan membangun dunia sosial yang mungkin itu karya sastra mengajak pembaca untuk keluar dari situasi dan kondisi historis mereka sendiri, kedirian mereka. Merupakan kemampuan karya sastra untuk keluar dari situasi dan kondisi tersebut dimana keadaan sosial memberikan fungsi kritis pada karya tersebut.
Althusser (1973) disebut sebagai proses subjek (-si) oleh kekuatan-kekuatan sosial yang dominan sehingga kemampuan karya sastra dalam menarik pembacanya untuk keluar dari situasi dan kondisi historis mereka sendiri dan sekaligus merupakan kemampuan sebuah karya sastra untuk mengemansipasikan mereka dari tatanan sosial yang dibangun oleh kekuatan sosial yang dominan.

3. Dari Bahasa ke Dunia Sosial
Penyimpangan sastra terhadap kaidah-kaidah bahasa yang dianggap umum tidak dengan sendirinya bahwa hal tersebut sama sekali dapat melepaskan diri dari kaidah-kaidah bahasa yang disampinginya. Sebagaimana telah disinggung, bahasa sebagai unsure yang menyimpang, serta masih amat terkait pada yang terkait disampinginya. Teori semiotika, misalnya teori Rolland Barthes (1972) menyebut sastra sebagai suatu system semiotic tatanan kedua yang dibangun atas dasar bahasa sebagai system semiotic tatanan pertamanya. Di dalam sastra, bahasa sekaligus dapat berkedudukan sebagai model dan sekaligus materi yang juga dikemukakan oleh Jurij Lotman (1977). Di dalam teori-teori sosiologi, bahasa dipandang sebagai institusi sosial yang penting. Karena terbagi secara kolektif, bahasa merupakan indicator dari gambaran realitas sosial.

4. Dari Rekaman, Imanjinasi ke Dunia Sosial
Dunis sosial pada dasarnya adalah dunia yang berbeda di luar dan melampaui dunia pengalaman langsung.dalam pengertian demikian dunia sosial sangat dekat dengan karya sastra. Bila karya sastra dipahami sebagai sesuatu yang fiktif dan imajinatif, dunia sosial pun juga demikian. Benedict Andersond (1991) berbicara mengenai komunitas-komunitas yang dibayangkan atau yang diimajinasikan. Sayangnya, Ia menerapkan pengertian tersebut hanya pada kasus masyarakat bangsa. Padahal, seluruh bentuk komunitas pada dasarnya bentuk imajinatif dan juga fiktif dalam pengertian merupakan sesuatu yang berbeda di luar dan melampaui kenyataan yang dapat dialami secara langsung.
Dunia sosial, adanya tatanan yang ada di balik kenyataan pengalaman langsung yang seakan tak bertatanan, merupakan sesuatu yang imajinatif sehingga hanya bias ditangkap dengan daya imajinasi.
Kuntowijoyo (1999) memahami cerpen sebagai structuralisasi pengalaman, imajinasi, dan nilai. Apa yang Ia sebut sebagai strukturalisasi itu cenderung bertumpang tindih pada apa yang dia sebut sebagai imajinasi. Menurutnya, pengarang itu seperti tukang batu. Di hadapannya ada batu bata, pasir, dan bahan-bahan lainnya, pengarang harus mempunyai imajinasi mengenai satuan-satuan yang akan membangun rumah itu yang bersumber dari imajinasi. Dengan keterangan demikian, imajinasi bagi Kuntowijoyo dapat diidentikkan sebagai imajinasi strukturalis atau imajinasi yang bersumber dari pengalaman yang tertata secara strukturalis yang bersumber dari pengalaman seperti pada contoh cerpen yang disampaikan dimana cerpen itu lahir melalui strukturalis imajinatif.

5. Beberapa Kemungkinan Definisi Sosiologis mengenai Sastra
Bila berbagai teori sosial klasik yang sudah dikemukakan sebelumnya dapat dijadikan pegangan untuk pemahaman mengenai sastra, terbuka beberapa kemungkinan mengenai sosilogi sastra, ada pengertian yang didasarkan pada teori Comte, Marx, Durkheim, Weber, dan juga Simmel.
Teori sosial Comte didasarkan pada tingkat pengembangan intelektual manusia sehingga terbangun tiga tahap teori perkembangan masyarakat yaitu teologi, metafisis dan positif. Dalam kerangka demikian sastra dapat dipahami sebagai perkembangan intelektual dan representasi dari manusia dan sekaligus organisasi sosial.
Bila ditempatkan dalam kerangka teori Marx sastra dapat ditempatkan sebagai salah satu supra struktur yang menjadi kekuatan reproduksi dari infrastruktur atau struktur sosial yang berdasarkan pembagian dan relasi sosial secara ekonomis. Sastra merupakan institusi sosial yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pertentangan antar kelas di dalam masyarakat, dapat sebagai kekuatan konservatif yang berusaha mempertahankan struktur sosial yang berlaku ataupun sebagai kekuatan yang progresif yang berusaha merombak struktur sosial yang baru di bawah dominasi kelas sosial yang baru pula.
Dalam kerangka teori sosial Durkheim, sastra terutama sekali akan bertalian dengan pembangunan solidaritas sosial yang menjadi kekuatan utama terbentuknya tatanan sosial. Jika dianalogkan itu mengarah pada agama yakni fungsinya di dalam masyarakat dimana memberikan pengalaman kepada masyarakat akan adanya sebuah relaitas yang melampaui batas-batas dunia pengalaman langsung individual.
Teori sosial Weber berpusat pada konsep tindakan dan pola-pola tindakan sosial yang menjadi dasar dari struktur sosial secara keseluruhan. Weber yaitu tindakan dan orientasi tujuan dimana tindakan yang berorientasi nilai, dan orientasi tujuan, dimana tindakan tradisional ada di dalamnya. Sastra dapat menempati satu atau beberapa kemungkinan pola tindakan tersebut.
Berbagai tipe tindakan di atas menentukan pola-pola organisasi sosial secara keseluruhan. Masyarakat tradisional amat dikuasai oleh pola tindakan tradisional, sedangkan masyarakat modern dikuasai oleh pola tindakan yang rasional, yang berorientasi pada tujuan di atas. Dalam pengertian yang demikian, pengertian sastra tidak hanya dapat dilihat dari pola tindakan yang dijalankannya melainkan juga dari pertaliannya dari organisasi sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar