Minggu, 12 Juni 2011

JALAN HIDUPKU



Siang yang kelam, wajah murung yang terpampang  jenuh menunggu dan melahirkan kebosanan yang ada, setetes demi setetes air mengalir dari atas kepalanya, wajahnya tampak lusu melihat keadaan yang terjadi, siang itu ia ingin keluar untuk mengumpulkan uang dari pada orang-orang yang masih memiliki uang yang lebih dalam setiap saku-saku celana dan bajunya, namum hatinya galuh karena tetesan air yang begitu deras mambahasi seluruh sketsa yang larut akan dalam penantian itu untuk melanjutkan aktifitas yabg terhambat oleh turunya air dari langit.
Ratna namanya gadis belia yang brumur 10 tahun relah memhabiskan masa kecilya untuk hidup di ruas-ruas jalan yang begitu ramai dan padat antrian kendaraan serta para manusia-manusia yang sibuk dengan dirinya masing-masing, baju baru dengan gambar beruang, celana putih berubah menjadi kecoklatan selalu menemprl di badanya untuk melindungi tubuhnya yang mungil demi panas matahari ketika ia mulai bekerja.
Disana tempat aku mengadu dan mengait rezeki, ditempat itulah aku dan adikku selalu berdiri dan kusodorkan gelas dan beserta adikku untuk kuperlihatkan kepada mereka yang masi merasa kasih kepada aku, yah….. sewaktu aku masih kecil dan belum mengenal jalan, mobil, dan gedung-gedung yang tumbuh begitu pesat aku sydah dibawah oleh orang tuaku untuk dipertontonkan hanya untuk mendapatkan makanan sehari-hari, aku yang tak bersekolah dan hidup demi hasil suapan orangb lain, masih rasanya melihat dunia ini indah seperti pada orang-orang yang berdasi dengan mobil-mobil yang mewah tempat tinggal yang layak, namum aku terlanjur dilahirkan miskin dan tak punya apa-apa selain baju dan adikku untuk menyambung hidup demi gelas yang aku sodorkan pada mereka.
Tempat yang begitu mudah bagiku, diruang itu aku dilahirkan dan meneriakkan suara yang sekencang-kencangnya untuk memberi tahu mereka bahwa seorang pengemis dan pemulung telah lahir, dibawah tumpukan sampah itu aku ketua demi pantat perempuan yang melahirkan, dengan dinding-dinding leluasa untuk keluar masuk hanya ditopang oleh 4 tiang bambu dan beratapkan kardus-kardus dari hasil barang yang aku pulung dalam perjalan kerumah, kini aku hanya bisa melihat anak-anak sebayaku bermain sepeda, memakan makanan yang bergisi, dan bersekolah, namum aku lebih jau dan berbeda dengan mereka yang aku hayalkan seorang anak peminta-minta, yang hidup dari gelas yang berwarna hijau yang aku tetnteng darin kesana kemari, dari pintu kepintu setiap kendaraan yang singgah di lampu merah, lampu tempat aku mengais rezeki, sungguh bedahnya aju dengan yang lain dimata mereka aku dipandang sebagai sampah masyarakat, aku bayangkan anak yang berpakaiyang kumal dan hidup dipinggir jalan seketika aku bverjalan, dan hari sudah gelap tak seorangpun memberiku makanan dan uang untuk membeli makanan dengan adikku dan aku putuskan untuk berpuasa namum aku tak kuasa melihat adikku yang masih berusia anak bulan ini. Ia menagis kesakitan akibat lapar, setiap tetesan air mata, mengalirkan semangat untuk mencarikannya penganjal perut demi menenangkan dirinya. Keputusan untuk kembali mengelilingi setiap pintu rumah demi mengharapkan kembali mengelilingi setiap pintu rumah demi mengharapkan pemberian untuk menutup perut yang lapar ini namun yang  saya dapatkan hanya kipasan-kipasan tangan yang diikuti dengan kata-kata “pergi” dan  tidak “ada”, dalam pandanganku mataku melihat makanan yang terjadi diatas meja ruangan yang dipenuhi oleh orang-orang yang lapar namun memiliki uang yang cukup. Hanya mengacungkan tangan kemudian karyawan tempat makan itu mendatanginya, dan memeberinya makan aku hanya bisa melihat makanan bertumpuk dan keluar masuk dari dalam warung, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya dilihat sebagai orang yang berabau busuk dan sampah masyarakat baju yang kukenakan begitu berbeda dengan aku itu yang datang bersama orang tuanya untuk makan. Warnanya begitu terang, rambutnya yang halus dan lembut berbeda dengan rambutku yang keriting dan tidak pernah mandi ini, rambutku yang acak-acakan terlihat, jelas membedakan aku dengan dirinya, aku hanya bisa melihat adikku menangis dan menangis, semua orang mengusirku karena teriakan adikku yang begitu keras sehingga mengganggu acara makan mereka, aku hanya bisa manghindar sesaat dan kembali lagi aku tak tahan melihat adikku yang kelaparan itu menangis dan menangi, namun orang-orang tidak memperdulikan tangisan adikku dan wajah kasihanku, mereka mengusir dan mengusir aku terus menerus, kursi yang terletak di seberangh warung itu menjadi tempat istirahatku, aku hanya bisa menyaksikan tangisan adikku dan kucuran air matanya, aku tidak boleh berdiam diri, aku harus mendapatkan makanan, kuberanikan diriku untuk menerobos kawalan karyawan yang sedang berlalu lalang melayani para mereka yang punya uang, tanganku menyentuh salah satu meja dan mengambil makanan yang ada diatas meja, aku berhasil meraihnya namun tangan-tangan mulai menjamah diriku, dan membuat aku tersungkur dibawah kaki meja, genggamanku takkan melepaskan makanan itu, aku harus membawanya dan memberikannya kepada adikku, yang aku tinggal seorang diri dikursi, pukulan demi pukulan aku dapatkan “tidak sopan,” “dasar manusia” “kotor, pencuri” itulah kata-kata yang aku dengar, setelah tubuhku dihujam oleh para karyawan dan si pemilik makanan aku tetap bertahan dan berusaha menahan rasa sakit yang aku alami, aku cepat-cepat keluar dari bawah kaki meja sambil membawa makanan yang aku dapatkan, lekas kibawa makanan itu mengahadap adikku, dan memakankannya namun dia hanya terus menangis dan menangis, aku perlahan-lahan menyuapinya dan akhirnya makanan itu habis, di makan olehnya, mulutnya mulai diam dan tangisannya sudah redah, ia tertidur, aku terus melihat kearah warung makan tempat aku mendapatkan makanan, orang-orang membuang makanan diatas meja yang sempat terjamah oleh tanganku ini, mereka menganggap aku ini kotor dan makanan yang aku sentuh itu dibuang kebak sampah samping warung bergegas kakiku melangkah dan menghampiri bak sampah itu warnanya yang coklat penuh dengan sampah-sampah plastic dan kertas namun diatasnya bertumpuk makanan yang telah dibuang oleh para karyawan, secepatnya kumasukkan dalam mulutku dan kukunya untuk menghilangkan rasa lapar yang aku bawah dari tadi siang, aku tak mendapatkan se sen pun uang untuk membeli makanan, semenjak pagi sampai matahari tenggelam, namun kini aku telah kenyang dari hasil bak sampah yang berisi makanan.
Begitulah perjuanganku dalam menempuh hidup, kalau aku  tak dapat uang tempat sampah jadi pengaduan perutku namun kalau aku memilki uang, rotilah yang membuat aku kenyang, hidupku sepenuhnya kupertaruhkan di ruas-ruas badan jalan hasil dari pertarungan dan perkelahian orang-orang yang memilki uang didalamnya.
Hujan tak kunjung reda aku hanya bisa berdiam diri kini adikku aku titipkan pada seorang tetanggaku untuk dijaga aku daan tetanggaku itu sudah lama hidup senasib tak banyak yang berubah setelah ibuku meninggal dan ketika ia masih hidup, dingin yang begitu menggigil membuat bulu kudukku berdiri kedinginan kulitku mulai melahirkan bintik-bintik kecil sesekali hujam menyerang wajah hitamku, namun aku harus bertahan untuk melihat metahari esok, aku akan tetap bertahan menghadapi dingin yang menembus kulit-kulit dan membuat tubuhku mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki menggigil dan bergetar.
Kuberanikan diri menerobos gempuran air hujan yang jatuh dari langit untuk keluar mancari sesuap makanan secepatnya aku menghampiri bangunan lama yang tak jauh dari tempat aku berdiri tadi disana, banyak motor yang terparkir, aku melihat susunan manusia yang berrjajar dan sandar di tembok sambil menunggu hujan reda aku memperhatikannya ku lirik mereka satu persatu namun mereka hanya diam dan terus memandangi langit yang begitu tak bersahabat denganku, yah begitulah hari-hariku selama hujan turun, aku takut akan sesuatu menimpa diriku dalam pencarian ini, kalau aku sakit tak ada yang akan merawatku ayahku sudah meninggal pada saat aku berusia 3 tahun kini aku sudah berusia 10 tahun beban yang harus aku tanggung sangat berat ibuku yang meninggal melahirkan adikku yang semata wayang yang belum mengenal dunia ini dia hanya bisa menangis dan berteriak saat dia lapar.
Ayahku yang telah meninggal, karena tertabrak oleh mobil pada saat ia menentang karung untuk mengambil botol sisa air minum orang lain di sebuah pembatas jalan, itulah yang aku tahu tentang ayahku tak banyak yang aku pahami dari dia, dia hanya meninggalkan cerita buat diriku saja, aku hanya bisa melihat ibuku yang diusung orang-orang menuju ke pemakaman tempat ia akan tertidur selamanya, aku cukup banyak belajar dari dia untuk mencari makan dipinggir jalan, aku begini banyak berguru kepadanya, sampai ia ketahui dari ibuku, kini aku hany hidup berdua dengan adikku yang masih sangat kecil itu. Saya hanya bisa membawanya keluar masuk dari jalan-jalan luas yang sumpek dengan bunyi-bunyi mobil.
Sekarang aku hanya bisa duduk bersandar dengan orang-orang yang tak aku kenal dibawah bangunan tua yang tak berpenghuni, yang terpikir olehku hanyalah menunggu hujan reda dan mendapatka uang untuk aku berikan makanan berdua dengan adikku yang tak ikut denganku, aku harus menghalau hujan, tubuhku sudah mulai basah kini aku berada di salah satu ruas jalan menunggu pintu-pintu kendaraan yang berlalu lalang untuk dibuka diikuti uluran tangan  yang menyodorkan sekeping uang lebih dari mereka. Sakit tidak kuhiraukan lagi, meskipun biaya pengobatannya mahal, yang aku tahu hanyalah bagaimana aku mendapatkan uang untuk hidup besok.
Sekian lama aku berdiri bibirku kini sudah berwarna abu-abu dan bajuku basah diikuti oleh bibir yang ikut bergetar gigiku mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang sangat merdu bertabrakan satu sama lain. Sebuah mobil tiba-tiba berhenti dan sebungkus mie, hatiku sangat senang setidaknya ada yang bisa saya makan hari ini, orang-orang hanya melihat aku dalam aktivitasku. Aku masih terus menunggu dan menunggu untuk menanti uluran tangan yang kedua, dingin sudah tidak bisa aku tahan, bergegas aku kembali untuk bertedu dibangunan tua, duduk sambil melihat tubuhku yang bergetar tak pernah berhenti, aku hanya bis memeluk hidupku tak banyak yang aku bisa  perbuat, aku ingin sekolah namun niatku itu harus aku kubur dalam-dalam, aku ingin seperti mereka yang selalu tertawa riang dimana saja, semuanya hanya mimpi bagiku.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar