semangat perubahan yang ssering diimpikan setiap orang, membawa harapan yang lebih bagi tiap-tiap incidu yang masih merindukan sebuah perjuangan, melemah semangat-semangt perubahan dalam sastra kita itu tidak jauh dari sebuah proses imajinasi yang berlebihan, penguasaan terhadap ruang-ruang pendidikan adalah hal yang sangat brutal yang menyimp...an sebuah keburukan dunia pendidikan.
terbatasnya ruang-ruang bersastra hari bukan menjadi sebuah halangan bagi orang-orang yang masih meyakini sastra masih ada dan tak akan pernah mati, namun yang paling janggal dalam pendidikan sastra kita hari ini yakni keterbatasan kita dalam menelaah dan menghasilkan sebuah perubahan, yang dikarenakan ruang-ruang sastra sekarang menjadi sebuah medio perpolitikan dan menjadi ruang-ruang kader untuk memepertahakan sebuah idealisme yang kem ungkinana besar menyajikan sebuah kebohongan.
ruang-ruang kelas itu beerusahah di privatisasi melalu adanya sekelompok tenaga pengajar yang selalu meneriakkan unsur-unsur kebenaran didpan para pengikiutnya, jadi ruang sastra kita hari ini itu tidak jauuh beda dengan ruang rapat partai politik praktis yang membinan kader-kadernya untuk melakukan sebuah kebohongan di hadapan publik.
orang-orang tidak akan mendapatkan sebuah masa keemasan sastra dengan kondisi yang terkonstruksi sedemikian rupa yang hanya menawarkan bagai mana menghasilkan kader-kader yang terlalu mengawang-awang, kemunculan kader yang selalu menuangkan ide kreatifnya dalam imajinasi yang penuh dengan kebohonagan, menjadi senjata yang menyesatkan buat ruang-runag ksesusastraan hari ini, rendra pernah berkata "politik dan pendidikan' dimana orang-orang politisi memandang ruang-ruang, atau institusi pedidikan adalah tempat mencetak atau mengkader para politisi praktis dan terlibat ambil andil dalam pengrusakan generasi, meskipun kesepahana saya dengan rendra mengenai pendapatnya tadi, tapi saya bukan orang yang mempunyai kesepahaman dengan rendra sepenuhnya, karena saya bukan robot yang sering menjadi kontrol atau seorang plagiat yang mengikuti pemikiran orang lain untuk dikonsumsi.
sampai hari ini kita tidak jauh beda dengan orang-orang yang terlibat dalam sebuah genostik ilmu yang berusaha mendoknasi para orang-orang yang ingin mengenal ilmu lebih dalam, terbatasnya ruang-ruang kelas dalam sastra menjadi hambatan yang sangat substansial untuk kita cermati dan melakukan refleksi, kemajemukan yang terbangun dalam konteks sastra sangat banyak kita jumpai dan dapatkan dalam ruang-ruang kelas atau tempat-tempat orang-orang melakukan kaderisasi, sebuah pembuktian yang terjadi sampai sekarang ini kemunculan para penggiat sastra yang menamakan dirinya sebagai sastrawa yang hany ingin mendapatkan ketenaran dan tempat dihati para penggemarnya, meskipun hal ini tidak dapat dipisahkan bahwa kemunculan para sastrawan karena munculnya para pemuja sastra.
kita kembali pada sebuah topik yang sempat tertera diatas, yang mempertrentangkan pendidikan dan ruang kader, pendidikan sebagai media ilmu, menjadi sebuah unsur yang sangat besar dalam peradaban manusia kesemua itu lahir melalui sebuah proses pengklasifikasian yang dilakukan oleh orang-orang yang berilmu, ruang-ruang pendidikan yang kita tunjuk dan yakini sebagai penghasil interlektual menjadi sarana yang paling efektif untuk melakukan sebuah transformasi ilmu untuk memepertahankan keberadaaanya, keberadaan pengetahuan dalam konteks masyrakat kita menjdai penopang dan mengundang persaingan yang ketat dalam penerapannya, nah klau kondisinya seperti ini apa bedanya dengan ruang-ruang kader yang di adakan disekeliling kita, ternyata kita memandang ruang pendidikan itu sebagai media untuk mencetak para kader-kader yang akan meneruskan pengetahuaan ini, dan setelah di telisik lebih jauh ternyata para politisi praktis yang tahu bagai mana bersaing dan menghancurkan bangsa itu tidak jauh beda dengan kondisi pendidikan kita sekarang ini.
menyambung pandangan saya mengenai konteks kader dan bagaimana dengan posisi sastra sebagai ilmu, dan perannya dalam masyarakat menjadi momok yang elengan dan substansl dimana remaja-remaja kita selalu di buat menjadi kader yang hedonis dan konsumeris didalam era moderniti sastra yang mnelahirkan romntisme belaka yang membentuk kader-keder tanpa kepekaan, sehingga cenderung individualis, serta memiliki mental yang keropos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar