BUTA
Tepat pukul 12 malam, tanggal 28 Mei Andi membuka bukunya, dengan tangan kirinya dibukanya lembaran-lembaran kertas yang berisi tulisan orang- orang terpelajar.
Matanya membaca huruf demi huruf, kata demi kata. Diangkatmya bukuu itu ke atas, sambil meraih kopi sisa hasil tadi pagi yang ia buat.
Matanya terus memandangi potongan-potongan kata dalam tiap lembar kertasnya, buku yang berjudul BUTA itu, sangat menarik bagi dia, suara binatang yang merdu berbunyi di malam hari, menemani Andi dalam menikmati buku yang sempat ia beli di salah satu pasar loak yang tak ramai dikunjungi orang.
Andi mengambil tasnya dan merogok kantong yang paling kecil di sebelah kanan tasnya, diangkatnya bolpoint yang memiliki mata besar dengan tinta berwarna merah. Ia sesekali menggores tiap laman-laman buku yang menarik perhatiannya entah karena ia suka atau mungkin tidak ia mengerti.
Tak terasa tulang-tulang semakin menggigil, dengan kumpulan asap tebal yang turun dari gunung Andi bergegas berdiri dan mengambil sarung yang sudah berbau mungkin belum dicuci selama sebulan lebih, namun kabut dan dingin semakin menyerang ia tidak mempedulikan sarung itu.
Tepat pukul 2 dini hari, Andi masih bersemnagat membaca buku yang ia beli, dalam khayalnya sebelum membeli buku itu, ia berpikir bahwa buku inibercerita tentang orang yang tidak dapat melihat keindahan alam, khayalannya jauh berbanding terbalik dari apa yang diharapkan.
Tidak lama berselang, ibunya bangun dari tempat tidur, sambil membaca doa. Sumiati pun keluar dari kamarnya dengan menenteng mukenah berwarna hitam bergaris merah. Namun Andi masih enak duduk di atas kursi rotasn yang kakinya hanya tiga ditemani oleh buku yang sangat tebal.
Sumiati adalah ibu Andi, kesehariannya hanya menjual gogos di depan emper-emper toko yang menjulang tinggi ke langit.
“Andi..,” tanya ibunya.
Dengan nada pelan, Andi segera memutar badannya dan berbicara, “ya bu,,.”
“kamu belum tidur?”
“belum bu, saya masih membaca buku yang aku beli di pasar tempatnya pak Janu.”
Langkah kaki yang bergerak lambat, tik..tok..tik..tok.. menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Ibu Andi adalah seorang yang taat beragama sepeninggal ayahnya Andi hanya tinggal berdua dengan ibunya di dalam rumah yang berukuran 4x5 meter saja. Suara adzan terus berbunyi, Andi masih asyik dengan bacaannya. Ibunya bergegas ke mesjid. Ia hanya menegur anaknya dengan sekali teguran.
“Andi, kamu ambil air wudhu sana dan ke mesjid.” Suara itu cepat menghilang yang ada hanya suara laki-laki yang terburu-buru.
“Aku masih penasaran dengan buku ini, buku ini membuatku bingung.”
Matanya sudah mulai melawan keinginan Andi untuk membaca, ia pun tak tahan dengan godaan kasur dan bantal yang terpampang di pojok rumahnya. Namun, Andi harus menyelesaikan buku yang membuatnya bertanya-tanya.
“sisa dua lembar, saya harus menyelesaikannya.”
Tak lama berselang, buku itu habis dibacanya. Namun matanya menolak untuk tidur lagi, ia harus berpikir.
“ Bu, apakah orang buta itu buta hati? ” tanyanya dalam hati, ia kemudian bingung dengan sendirinya. Ibunya muncul di depan pintu, Andi bergegas memalingkan wajahnya menghadap ke ibunya.
“ Bu’ apakah orang buta itu buta hati…?”
Ibunya tersentak heran,” Maksud kamu?”
“ya bu, saya membaca buku ini,” dengan santainya ibunya berkata “ Mereka adalah orang-orang yang punya mata, mereka diberi penglihatan hanya untuk menindas satu sama lain.”
Andi pun heran dengan perkataan ibunya yang begitu lemah lembut. Namun menyentak perasaan dan pikiran ini.
“ Mereka buta hati, Nak.”
Andi pun menundukkan kepalanya dan merenungkan perkataan ibunya.
“ Ayo kamu tidur, dari jam 8 tadi sampai sekarang, kamu hanya membaca terus, nanti kamu buta nak,” dengan sedikit senyum di bibir sang ibu.
Namun ibunya terus bercerita. “ Mereka itu dibutakan oleh harta meskipun mata mereka melihat.”
“ Orang-orang di atas sana yang duduk di kursi empuk senang melihat prang miskin menderita” dan diolok-olok, itulah kenapa mereka buta.”
Ibunya bergegas ke dapur, pukul 06.00. matahari mulai menyapa. Ibu Andi mulai bergegas membawa gogos yang ia buat semalam untuk dijajahkan demi menghidupi dirinya dan anaknya di bawah gedung-gedung tinggi itulah ia menjajakan hasil tangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar