Kamis, 21 Juli 2011

GELISAH

            Di ruang kelas yang begitu sempit, teman-teman lagi menunggu Diktator yang akan mengisi ruang kelas yang menjadi tempatnya untuk berpidato. Para anak muda yang sedang duduk asyik dengan cengkramanya masing-masing, ada yang membuat lingkaran kecil dengan tumpukan tas di tengah-tengahnya dan ada juga yang bertebaran seperti ikan kering yang berjemur di atas rak-rak yang terbuat dari kayu. Sambil menghisap sedotan yang ditancapkan pada sebuah minuman dingin yang dikemas ke dalam gelas plastik. Kelihatan dia sangat haus dengan suhu udara yang begitu terik. Namun, begitu banyak yang berdiskusi tentang dictator yang akan datang untuk mengajari mereka.
            Salah seorang perempun berlari dengan tergopoh-gopoh sambil menenteng tasnya dengan kulit yang basah, ia datang ke tengah-tengah para orang yang sedang santai itu, bergerak dengan serempak mirip dengan para tentara yang diberi komando oleh atasannya. Nurdin masih asyik dengan buku yang ia baca dengan harapan rokok yang sesekali ia keluar masukkan dari dalam mulutnya. Teman-temannya pun berlari dengan wajah yang tegang, setelah Isna datang membawa informasi mengenai sosok diktator yang akan datang ke ruang kelasnya.
            “Tadi Bapak berada di belakang saya”
            “ Dia sudah berada di tangga lantai dua menuju ke sini”
            Ceritanya singkat kepada teman-temannya. Mereka mulai mencari bangku-bangku kosong yang siap mereka tempati untuk mendapatkan pembelajaran. Satu per satu kertas dan bolpoin mulai berbunyi di atas meja. Nurdin melangkahkan kakinya, ia masih sibuk dengan bacaannya, punting rokoknya dibuang ke halaman dekat kelasnya. Tak lama berselang sekarang muncul dari dalam lorong dengan jenggot panjang, dada membusung ke belakang, perut membuncit ke depan, kedua bahunya berayun dari depan ke belakang.
            Nurdin mengangkat wajahnya dan tersentak dictator itu datang.
            Tangan kanannya menenteng banyak buku, sambil melangkah dosen itu member tanda kepada Nurdin dengan mengacungkan tangan kirinya ke depan, telunjuknya bergerak ke sebelah kanan, sorotan matanya yang tajam membuat orang takut untuk melihatnya.
            Nurdin melangkah dengan santai ke ruang kelasnya. Ia memilih untuk duduk di belakang karena bangku semuanya telah penuh hanya bangku belakanglah yang masih kosong.
            Dalam perjalanannya tadi menuju ruangan, ia berpikir dan berbisik dalam hati, “ Pak Darmis tadi seperti algojo saja yang mau mengeksekusi orang-orang yang sedang duduk di atas kursi listrik dalam ruangan yang saya tempati ini,” sambil mengelurkan senyum yang kecil di bibirnya.
            “ Nurdin, kenapa kamu senyum-senyum begitu…?” tanya salah seorang temannya yang begitu tegang dalam ruang kelas.
            “ Ah… tidak, lagi berkhayal saja,” jawabnya sambil menoleh ke depan temannya yang bertanya tadi.
            Tak lama berselang, dosen itu muncul di balik pintu, sambil menoleh ke kiri dan kanan, seperti kepala penjara yang sedang mengamati para tahanan dalam beraktifitas.
            Salah seorang teman berbisik kepada saya, “lihat bapakmu datang”, sambil tertawa kecil. Dengan suara kecil aku membalas canda temanku tadi,”itu bapakmu”. Nurdin dan temannya tertawa kecil di belakang. Dengan meletakkan bukunya di atas meja, pak Darmis           menuju ke papan tulis. Sambil meneteng sebuah spidol, pelajaran dimulai. Namun, teman-temanku sangat tegang dengan kehadirannya. Ruang kelas mendadak hening seperti berada dalam penjara penyiksaan.
            Saya melihat wajah-wajah yang tadi siang begitu girang kini mendadak berubah pucat. Waktu terus berputar tak terasa jam pelajaran akan segera habis.
            “ Ada yang bertanya?”, dengan suara yang begitu lantang. Darmis berbicara sambil menuju ke kursi bagian depan yang dihuni oleh para mahasiswa perempuan. Ia mulai memegang satu persatu para mahasiswi yang berada di dekatnya. “ Bagaimana Isna, kamu sudah mengerti?”. Isna menghindar secara perlahan dengan meggoyangkan tubuhnya ke samping kiri karena tangan dosennya mulai meraba bagian tubuhnya,
            “ Iya pak.” Mungkin karena Isnalah yang begitu cantik di antara yang lain.
            Aku mengangkat leherku ke atas dan melihat kejadian itu, aku memberi tanda kepada temanku, dengan mengarahkan telunjuk kiriku ke depan.
            “ Lihat, bapakmu”, temanku berdiri sambil menggelengkan kepalanya “ lale”, sambil mengepal tangannya. Pak Darmis tiba-tiba berdiri, aku dan temanku duduk dengan cepat.
            “ sudah mengerti?”. Salah seorang teman mengacungkan tangan ingin bertanya, semua mata tertuju padanya.
            “Ya… apa pertanyaannya ” dengan suara yang menggelegar, dan memberinya lototan mata. Aku melihat dictator itu seakan-akan ia benci kepada anak laki-laki yang bertanya tadi. “ Begini pak, kalau pendapat saya, bahasa itu bukan lagi alat komunikasi yang baik dan benar”.
            “ Maksud kamu…?”, tanyanya kembali pada anak laki-laki itu.
            “ Iya… saya mengambil contoh seperti penerbitan, revitalisasi, dan pembenahan, ujung-ujungnya penggusuran. Jadi mending kita jangan berusaha mengelabui masyarakatlah dengan bahasa-bahasa serti itu,” Tanya anak yang duduk di pojok sebelah kiri dengan menggunakana baju kaos berwarna merah, tersirat kata “lawan” pada punggung bajnya dengan warna putih.
            Ia kembali berbicara dengan nada yang santun, “jadi kita sebagai orang ahli bahasa telah melakukan kebohongan kepada mereka, dan membuat banyak orang menderita akibat bahasa kita.”
            Aku melihat anak itu dan sesekali memandang dikatator yang sedang melihat temanku yang bertanya, wajahnya tambah merahm dengan pertanyaan yang ditujukan anak itu, terlihat ia seakan dipojokkan dengan salah satu pertanyaan dari temanku.
“ Betul juga yang dikatakan temanku tadi, baru-baru aku membaca koran mengenai perlawanan warga,”kataku dalam hati. Aku mulai mengurai dalam pikiranku mengenai koran yang ku baca tadi pagi, “ warga melawan satpol PP atas himbauan walikota”. Sambuil mengangkat tangan kiriku dan menutup mulutku sambil berpikir. Aku mulai bertanya-tanya lagi dalam hati, “ iya walikota ingin merevitalisasi tempat itu, untuk menjadi tempat para investor membangun.”
Perdebatan pun semakin memanas, aku hanya bisa melihat pak Darmis dan temanku berdebat. Saya melihat pak Darmis tidak ingin di pojokkan sebagai orang ahli bahasa, tiba-tiba ia mengangkat tangannya dan menunjuk-nunjuki temanku yang bertanya tadi, “ kamu baru jadi mahasiswa sudah berani membantah dosen.”
Tiba-tiba di kelas hening seperti tak berpenghuni akibat dari kemarahan dikatator yang meledak-ledak seperti jagung bakar, dalam api ketika meledak kita takut akan bara panas yang keluar dari dalam tungku, akibat letusan jagung bakar itu.
Pak Darmis mulai menutup kelas itu, semua orang bergegas keluar, ada yang masih merapikan buku dan alat tulis lainnya ke dalam tas. Mereka seperti baru saja bebas dari penjara dan menghirup udara bebas, dan bergegas lari keluar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar